Tirto Adhi Soerjo: Sang Pemula Pers Bumiputera

 


Kurang lebih seratus tiga puluh sembilan tahun yang lalu, tahun 1880, satu keluarga bangsawan di Blora, Jawa Tengah, sedang berbahagia. Istri dari Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero, yang merupakan pegawai kantor pajak, melahirkan seorang putera, dan diberi nama Djokomono.

Karena Djokomono adalah cucu dari seorang bupati, maka ia diberi gelar raden mas di depan namanya. Kakeknya yang bernama Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, adalah seorang Bupati Bojonegoro.

Ketika mulai beranjak dewasa, RM Djokomono merubah namanya menjadi RM Tirto Adhi Soerjo. Bagi keluarga bangsawan yang masih terhitung keturunan raja-raja Jawa, perubahan nama anak saat menjelang dewasa adalah hal yang lazim. Nama barunya bisa pemberian dari sang ayah, atau kakeknya.

Gelarnya sebagai anak bangsawan, membuat Tirto mudah mendapatkan akses pendidikan. Tirto pun masuk ke sekolah dasar di Rembang. Setelah menamatkan sekolah dasarnya itu, ia melanjutkan sekolahnya ke Hogere Burger School (HBS) yang berada di Betawi. Ya, di umur yang masih sangat muda itu, Tirto merantau.

Setelah lulus dari HBS, Tirto pun diterima di sekolah dokter bumiputera, School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (STOVIA) di Batavia. Saat itu, Tirto memang sedang memiliki ketertarikan pada dunia kedokteran.

STOVIAGedung sekolah STOVIA. Sumber: Pinterest.com

Padahal, kalau dipikir-pikir nih ya, dengan statusnya sebagai anak dari keluarga bangsawan, mudah aja buat Tirto meniti karir sebagai abdi pemerintah, dan tentunya masa depannya sudah terjamin akan cerah. Tapi Tirto menolak itu, ia sama sekali tidak tertarik untuk menjadi abdi pemerintah.

Alih-alih bekerja sebagai abdi pemerintah, Tirto justru menjadi seorang penulis yang sangat diperhitungkan oleh pemerintah kolonial. Semua itu dimulai saat awal-awal bersekolah di STOVIA. Saat itu Tirto mulai jatuh cinta pada dunia penulisan dan jurnalistik.

Sejak awal masuk, ia sudah aktif mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai surat kabar yang cukup besar, seperti Pewarta Priangan, Pembrita Betawi, Chabar Hindia Olanda, juga Bintang Betawi.

Tulisan-tulisan Tirto pun mulai banyak dimuat di surat kabar. Melalui tulisannya, Tirto mengutarakan keresahannya pada kondisi sosial politik yang tengah terjadi di bumiputera. Semakin lama, kritik-kritiknya pada pemerintah kolonial semakin tajam.

Ketajaman Tirto dalam menulis, tidak serta merta muncul begitu saja. Sebagai seorang yang baru terjun dalam dunia jurnalistik, Tirto banyak belajar dari jurnalis senior yang juga menjadi pemimpin redaksi di Niews van den Dag, namanya Karel Wijbrands.

Kalau kamu pernah membaca buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, di sana diceritakan kalau hubungan mereka cukup singkat, tapi sangat intensif. Maka dari itu, Tirto bisa mendapatkan banyak pelajaran dari Wijbrands.

Sebagai seorang jurnalis senior, tentunya Wijbrands juga memberikan banyak pengetahuan kepada Tirto, tentang dunia jurnalistik. Bahkan, Tirto sampai diajarkan dan dibimbing untuk kemudian bisa memiliki media terbitan sendiri.

Banyak saran yang diberikan oleh Wijbrands kepada Tirto hingga akhirnya ia dikenal sebagai orang yang membuka keran kebebasan pers.

Tirto diminta mempelajari hukum, disarankan untuk mempelajari tata pemerintahan agar ia memahami dan menjadi jeli saat menilai kekuasaan, juga ditekankan bahwa menjadi seorang jurnalis, harus selalu membawa kepentingan publik.

Selain itu, Tirto juga merupakan pembaca karya-karya Multatuli, yang merupakan nama penulis Eduard Douwes Dekker.

Serangkaian pelajaran, bimbingan, juga saran yang diberikan, membuat Tirto berhasil menerbitkan sebuah surat kabar. Surat kabar pertama di Indonesia yang benar-benar independen. Karena dikelola, diterbitkan, dan dimodali oleh bumiputera sendiri dan menyuarakan kepentingan publik. Surat kabar ini bernama Soenda Berita, berdiri pada tahun 1903.

Komentar